
Ditulis Oleh Penulis : Taslim Pua Gading (Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang)
Budaya Lamaholot merupakan salah satu dari sekian banyak budaya atau masyarakat hukum yang ada di Indonesia serta diakui secara konstitusi yang menegaskan bahwa undang-undang dasar negara kesatuan republic indonesia menghormati dan mengakui setiap budaya beserta tradisinya masing-masing.
Sebagai salah satu suku yang diakui di Indoensia maka tentunya suku Lamaholot memiliki tradisi dan budaya sebagai identitasnya. Dengan demikian identitas suku lamaholot yang terwujud dalam tradisi dan kebudayaan tersebut diakui dan patut dihormati oleh seluruh elemen berbangsa dan bernegara.
Suku Lamaholot sendiri memiliki banyak kekayaan dalam tradisi hidup masyarakatnya baik dalam bentuk tarian, busana, bahasa, peninggalan leluhur dan tradisi hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kata “Kebudayaan” berasal dari (bahasa Sangsekerta) buddahayah yang merupakan bentuk jamak kata” buddhi yang berarti budi atau akal.
Kebudayaan di artikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengn budi atau akal”Adapun istilah culture yang merupakan istila bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan yang berasal dari kata Latin colore .
Artinya mengolah atau mengerjakan, seorang antropolog lain, yaitu E.B Tylor (1871) pernah memberi defenisi kebudayaan sebagai berikut :
“Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenianmoral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.”
Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semua yang di dapatkan atau dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagi semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat mengahasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmania (material culture) yang di perlukan manusia untuk menguasai alam di sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat di abadikan untuk keperlukan masyarakat.
Pendapat tersebut di atas dapat saja di pergunakan sebagai pegangan. Namun demikian, apabila di analisis lebih lanjut, manusia mempunyai segi materil dan segi sepiritual di dalam kehidupannya. Segi materil mengandung karya, yaitu kemampuan manusia untuk menghasilkan benda-benda maupun lain-lainnya yang berwujud benda. Segi sepiritual manusia mengandung cipta yang hasilkan ilmu pegetahuan, karsa yang menghasilkan kaida atau kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, dan hukum serta rasa yang menghasilkan keindahan. Manusia berusaha mendapatkan ilmu pengetahuan melalui logika, menerasikan kaidah-kaidah melalui etika dan mendapatkan keindahan melalui estetika. Hal itu merupakan kebudayaan, yang dapat di gunakan sebagai patokan analisis.
Di Indonesia di kenal kelompok kelompok atas dasar ikatan darah, misalnya marga, belah dan seterusnya. Sebaliknya di kenal pula nama desa, yang di dasarkan pada faktor teritoril. Wewenang peribadi sangat tergantung pada solidaritas antara anggota- angota kelompok dan di sini unsur kebersamaan sangat memegang peranan. Para indifidu dianggap lebih banyak memiliki kewajiban ketimbang hak. Struktur wewenang bersifat konsentris yaitu dari suatu titik pusat meluas melalui lingkaran lingkaran wewenang tertentu, setiap lingkaran wewenang dianggap mempunyai kekuasaan penuh di wilayahnya masing-masing. Apabila bentuk wewenang ini di hubungkan dengan ajaran Max Weber, wewenang pribadi didasarkan pada tradisi dari pada peraturan- praturan. Juga mungkin di dasarkan pada charisma seseorang. Pada wewenang territorial, wilayah tempat tinggal memegang peranan yang sangat penting.
Lamaholot sendiri merupakan salah satu suku atau etnis berada di wilayah timur Indonesia di mana masyarakat suku Lamaholot pada umumnya mendiami ujung timur pulau Flores, pulau Adonara,bpulau Lembata dan solor.
Gading itu sendiri merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap harkat dan martabat perempuan Lamaholot yang tidak bisa ternilai dengan rupiah. Seperti suku-suku lain yang ada di Indonesia, dan Lamaholot sendiri juga memiliki tradisi sebagai identitas orang Lamaholot .
Salah satunya adalah tradisi Adat dalam peroses pernikahan Lamholot, sebagaimana Gading Gajah merupakan objek yang di jadikan sebagai mas kawin dalam pernikahan, Gading itu sendiri bisa di berikan secara kontan maupun utang dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan di forum Adat antar kedua bela pihak.
Jumlah Gading yang di berikan kepada pihak keluarga perempuan Lamholot juga berbeda sesuai dengan setatus sosial, tingkat pendidikan.
Budaya Lamaholot merupakan salah satu budaya dari sekian banyak budaya yang ada di Indonesia yang di lindungi oleh konstitusi sehingga keberadaan dan tradisi pada suku Lamaholot merupakan warisan leluhur sebagai kekayaan Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas suku Lamaholot sendiri merupakan salah satu suku dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia yang memiliki tradisi adat sebagai wawarisan leluhur dan diakui serta di hormati oleh konstitusi.
Dalam konstitusi Negara dengan jelas mengakui dan menghormati hukum adat yang dimiliki oleh suku lamaholot. Hal tersebut dituangkan dalam pasal 18 B ayat (2) yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang di atur dalam undang-undang.”
Berdasarkan uraian diatas budaya masyarakat hukum pada suku Lamaholot sendiri merupakan salah satu masyarakat hukum di Indonesia yang diakui dan di hormati oleh konstitusi, namun pada satu sisi salah satu tradisi suku Lamaholot yaitu “Belis Perkawinan” justru bertentangan dengan undang-undang konversasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Pada kedudukan hirarki hukum dari kedudukan terendah hingga kedudukan yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar tidak boleh saling bertentangan atau dengan kata lain UUD merupakan acuan dalam pembentukan undang-undang dibawahnya sehingga peraturan perundang-undangan lainnya yang dalam kedudukan hirarkinya berada di bawah UUD tidak boleh bertentangnya dengan UUD, hal tersebut diatur melalui asas-asas hukum Indonesia “Lex Superior Derogat Legi Inferiori “ dimana dapat diartikan bahwa undang-undang yang mempunyai dasar lebih rendah dalam hirarki peraturan tidak boleh bertentangan dengan lebih tinggi.
Salah satu kebijakan dalam memperkuat asas ini yakni undang-undang No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan pada pasal 7 membagi jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan berurutan dari yang derajatnya lebih tinggi, yaitu: UUD Negara RI Tahun 1945; ketetapan MPR; Undang-Undang/Perpu; peraturan pemerintah; peraturan presiden; peraturan daerah propinsi; peraturan daerah kabupaten atau kota.
Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hirarki tersebut.
Sebagai Negara hukum, segara aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan termasuk pemerintah senantiasa berdasarkan atas hukum sehingga diperlukan tatatnan yang tertib termasuk di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dirintis sejak saat perencaan sampai pengundangannya. Bentuknya harus berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, teknik penyusunan maupun pemberlakuannya.
Sebagai mana UUD RI tahun 1945 pasal 22A mendasarkan, “ketentuan lebih lanjud tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.” Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 di undangkan untuk mengatur pembentukan kebijakan di bawah UUD Negara RI tahun 1945, secara terencana, bertahap, terarah dan terpadu sehingga UUD Negara RI Tahun 1945 menjadi kebijakan di bawahnya .[]
(Red)