
Ditulis Oleh : Anggita Ayu Pramesti, S.Ak.
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia)
Partai politik sebagai organisasi yang dapat mengantarkan para politisi menduduki jabatan legislatif maupun eksekutif, membutuhkan dana anggaran besar untuk memenangkan perebutan kursi jabatan publik dalam kontestasi pemilu yang berlangsung. Persoalan-persoalan yang dihadapi partai politik tersebut melipat gandakan dana kampanye yang harus dikeluarkan para kandidat. Sebab, agenda kampanye tidak cukup hanya keluar masuk rumah penduduk, menghadiri banyak pertemuan, memasang poster dan spanduk, tetapi juga tampil di media massa, khususnya media arus utama seperti koran dan televisi. Lebih jauh Pendanaan tersebut diperlukan untuk mengkonsolidasi organisasi, mengkader anggota, menyerap aspirasi dan membangun citra.
Pada mulanya, semua kebutuhan keuangan partai politik dipenuhi oleh iuran anggota.
Hubungan ideologis yang kuat antara partai politik dengan anggota menyebabkan partai politik tidak sulit menggalang dana dari anggota. Namun, sejalan dengan perubahan struktur sosial masyarakat dan penataan sistem pemerintahan demokrasi yang semakin kompleks, kini nyaris tidak ada partai politik yang hidup sepenuhnya dari iuran anggota. Macetnya iuran anggota dan donasi publik yang disebabkan tidak optimalnya peran partai serta buruknya citra partai adalah masalah lanjutan dari fenomena tersebut.
Menurut undang-undang, sumber keuangan partai politik adalah iuran anggota,
penyumbang dan bantuan negara. Pada kenyataanya kebanyakan pendanaan tersebut berasal dari para penyumbang, baik penyumbang perseorangan maupun badan usaha. Namun jika daftar penyumbang partai politik dan daftar penyumbang dana kampanye (yang dilaporkan KPU) ditelusuri, maka jumlah dana yang dilaporkan tersebut, diduga tidak seberapa jika dibandingkan dengan perkiraan biaya riil partai politik per-tahun, atau biaya kampanye pada masa pemilu.
Pada hakikatnya, pendanaan partai politik yang bersumber dari sebagian besar partisipasi anggota/konstituen, akan membentuk partai pro-rakyat karena ketergantungannya terhadap partisipasi rakyat. Sebaliknya, pendanaan dari kelompok pemodal justru menjadikan partai tidak mandiri dan bergantung pada pemberi dana. Dampaknya terlihat dalam pengambilan kebijakan yang tidak lagi berpihak kepada kepentingan rakyat (Elin, Falquera, Samuel Jones, dan Magnus Ohman: 2016). Padahal sebagai organisasi publik, partai politik memiliki sumber-sumber pendanaan yang terbatas. Namun, agenda politik dan kegiatan yang dilakukan baik dalam proses internal dan maupun eksternal lebih banyak dilaksanakan ditempat-tempat yang mewah dengan jumlah peserta ratusan bahkan ribuah orang. Hal ini menimbulkan kecurigaan publik tentang adanya sumber-sumber pendanaan yang tersembunyi.
Ditambah lagi, partai politik melakukan pengeluaran tidak berdasarkan pada fungsi
untuk melayani rakyat yang notabene merupakan pemilik kedaulatan. Selain itu, konteks permasalahan lain pada partai politik adalah lemahnya regulasi tentang pengeluaran partai politik yang secara praktis akan memicu persaingan tidak seimbang dan tidak adil antar partai
politik. Kesenjangan antara pengaturan keuangan partai politik di dalam undang-undang dengan praktik politik keseharian yang dijalani memperlihatkan bahwa regulasi yang membahas mengenai pendanaan partai politik (UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011), tidak berhasil mendorong partai politik untuk mengumpulkan dana yang lebih besar guna memenuhi kebutuhan operasional partai politik, sehingga membuat elit politik terlibat pada kasus-kasus pemburuan dana illegal dengan memanfaatkan kedudukan dilembaga legislatif maupun eksekutif.
Pada persoalan tersebut, sudah seharusnya pendanaan partai politik memunculkan
pengaturan keuangan partai politik yang harus dibedakan dengan pengaturan keuangan
kampanye. Pengaturan keuangan partai politik mengatur pendapatan dan belanja partai politik untuk membiayai kegiatan operasional partai politik sepanjang tahun. Kegiatan ini meliputi pembiayaan sekretariat, rapat-rapat partai, pendidikan politik dan kaderisasi serta kegiatan-kegiatan unjuk publik (public expose) yang betujuan menjaga eksistensi partai politik, seperti perayaan ulang tahun, seminar, kajian, aksi sosial, dll. Sementara pengaturan keuangan kampanye mengatur pendapatan dan belanja kampanye yang berlangsung pada masa pemilu.
Prinsip pokok pengaturan keuangan partai politik adalah akuntabilitas dan transparansi (Surbakti: 2015). Prinsip transparansi tersebut mengharuskan partai politik bersikap terbuka terhadap semua proses pengelolaan keuangan partai politik. Di sini sejumlah kewajiban harus dilakukan partai politik, seperti membuka daftar penyumbang dan membuat laporan keuangan
secara rutin, yang mencatat semua pendapatan dan belanja partai politik sepanjang tahun.
Tujuan membuka daftar penyumbang dan laporan keuangan kepada publik adalah untuk menguji prinsip akuntabilitas, yaitu memastikan secara komprehensif tanggung jawab partai politik dalam proses menerima dan membelanjakan dana partai politik terlihat rasional, sesuai etika dan tidak melanggar peraturan. Tanpa prinsip akuntabilitas dan transparansi, partai politik tidak hanya berkutat pada persoalan korupsi tetapi juga akan mengancam masa depan demokrasi, sebab partai politik dengan tata kelola buruk hampir pasti akan gagal dalam mengelola negara dan pemerintahan. Hal tersebut yang harus disadari oleh partai politik pada umumnya.
Keterkaitan Pendanaan Partai Politik Dengan Identitas Kepartaian
Ide dasar pendanaan partai politik dengan dana anggaran pendapatan dan belanja negara
dimaksudkan untuk mengurangi ekses dalam persaingan para politisi merebut kekuasaan, yang berupa tindakan korupsi sebagai upaya untuk menutupi biaya kampanye yang sangat besar. Partai politik yang dikuasai pemodal sebagai instrument mendapatkan pendanaan akan berimplikasi terhadap identitas partai politik serta akan merugikan rakyat (Buehler, M: 2009). Itulah sebabnya, pengaruh pemodal dalam kiprah partai politik perlu diminimalisasi untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi terakomodasinya kepentingan pemilih. Pendanaan partai politik oleh APBN pada dasarnya mencegah terlalu kuatnya cengkeraman pemodal pada
partai politik. Semakin besar ketergantungan partai politik terhadap pemodal, semakin besar pula parpol itu terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Sesuai dengan peraturan UU No. 2 Tahun 2011 tentang pendanaan partai politik, sumber utama dana partai politik di Indonesia dapat berasal dari iuran anggota, sumbangan, dan bantuan negara.
Sumber Pertama, iuran anggota. Sumber penerimaan ini sepenuhnya menjadi otonomi internal partai politik yang bersangkutan untukmengatur besaran, termasuk eaktu pemungutannya. Namun, iuran anggota biasanya hanya berlaku bagi anggota partai politik yang menduduki kursi legislatif ataupun eksekutif melalui mekanisme potong gaji. Sedangkan kader partai biasa relatif tidak berjalan.
Sumber kedua, sumbangan yang sah menurut hukum, baik perseorangan maupun badan usaha memang dapat dijadikan sumber penerimaan potensial bagi partai politik untuk memenuhi segala kebutuhannya. Akan tetapi, mekanisme ini memiliki efek samping yang mengganggu otonomi internal partai jika dijadikan sumber utama penerimaan. Hal ini karena partai politik akan dibuat bergantung pada perseorangan atau badan usaha penyumbang hingga pada akhirnya seorang penyumbang diberikan ruang untuk mengintervensi kebijakan-kebijakan partai.
Sumber Ketiga, bantuan keuangan negara. Bersumber pada APBN dan APBD, bantuan keuangan negara terhadap partai politik diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota partai. Namun, PP No 5 Tahun 2009 tentang bantuan keuangan partai politik menjelaskan, selain untuk pendidikan politik, dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional partai. Bantuan ini hanya diberikan bagi partai politik yang memperoleh kursi DPR dan DPRD yang besarannya dihitung berdasarkan perolehan suara partai.
Untuk partai politik yang meraih kursi DPR, misalnya, berhak memperoleh Rp 108 per-suara. Jika merujuk pada kajian yang dilakukan Perludem (2011), diperkirakan bantuan keuangan negara hanya mampu memenuhi 1,32 persen kebutuhan partai per tahun. Tidak heran kemudian terdapat berbagai cara yang dilakukan oleh anggota partai untuk mencari dana di luar tiga sumber penerimaan yang sudah diatur. Terkait dengan permasalahan tersebut, tahun 2018 pemerintah memastikan bantuan negara untuk dana partai politik naik hampir 10 kali lipat dalam APBN 2018 sebesar Rp 1.000 per suara. Terobosan ini memiliki implikasi untuk mereduksi persoalan ketergantungan partai politik kepada penyumbang dan mengembalikan peran, identitas, serta fungsi partai politik sebagai organisasi publik melalui dana publik.
Studi Kasus Berpengaruhnya Pengelolaan Dana Dengan Identitas Kepartaian Dalam Partai Politik Baru (Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya, dan Partai Garuda) Pada Hasil Pemilu 2019
Keterkaitan transparansi dan akuntabilitas pengeloaan dana partai politik dengan
identitas kepartaian, dalam pandangan yang positif akan menaikkan pangsa electoral di tingkat pemilih. Identifikasi diri terhadap identitas kepartaian adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya. Lebih jauh, tahapan ini merupakan ukuran derajat kedekatan konstituen secara psikologis dengan partai politik yang diyakininya untuk dipilih saat pemilu dilaksanakan (Haryanto: 2014). identitas kepartaian ini merupakan sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi itu sendiri.
Studi literatur dalam konteks perilaku pemilih melihat identitas kepartaian sangat
terkait dengan stabilitas dan instabilitas dukungan elektoral. Semakin besar pemilih yang merasa dekat dengan partai maka kontinuitas dan stabilitas elektoral partai politik akan terjaga baik. Sebaliknya, semakin sedikit pemilih yang mengidentikkan diri dengan partai politik maka semakin dinamis dan tidak stabil dukungan elektoral. Asumsinya adalah jika pemilih yang memiliki identitas kepartaian semakin sedikit maka gejala deparpolisasi akan semakin tinggi. Deparpolisasi adalah gejala psikologis yang membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap partai politik (Huntington: 2003). Dalam kajian ilmu politik, gejala tersebut dapat dilihat dari dua dimensi yang menghubungkan pemilih dengan partai. Pertama, identifikasi diri dengan partai. Kedua, evaluasi massa pemilih atas fungsi intermediasi partai (dimensi rasional).
Fenomena politik di Indonesia selama ini setidaknya memunculkan 2 (dua) dampak
buruk yaitu: Pertama, memunculkan persoalan identitas partai yang dihubungkan dengan pengeloaan transparansi dan akuntabilitas menjadikan partai politik cenderung dianggap tidak professional dan menjadikan elektoral diantara mereka tidak stabil. Fakta tersebut, mengidentifikasi bahwa kesadaran perilaku pemilih dalam pasar elektoral semakin meningkat. Kedua, konsekuensi kaburnya pendanaan partai politik yang transparan dan akuntabel menjadikan partai politik cenderung bertumpu pada figur politik dengan modal kapital yang
kuat.
Merujuk kepada UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ditetapkan ambang batas parlemen
(parliamentary treashold) untuk pemilu 2019 sebesar 4% dari suara sah nasional. Hasil temuan berdasarkan rekapitulasi KPU memunculkan data bahwa partai politik baru yang mengikuti kontestasi pemilu 2019, yakni: Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya, dan Partai Garuda tidak mampu lolos ke Parlemen. Dalam konteks partai politik baru tersebut, salah satu faktor yang mengganjal lolosnya partai politik baru ke parlemen adalah tidak transparan dan akuntabel dalam pengeloaan pendanaan keuangan partai politiknya.
Sebagai bagian dari organisasi publik, partai politik baru tersebut tidak mampu keluar dari bayang-bayang partai politik lama yang “nyaman” dengan tidak transparan dan akuntabel dalam segi pengelolaan dana partai. Keterbatasan struktural dan finansial menyebabkan partai politik baru mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsi perantara. Keterbatasan struktural dalam konteks lemahnya jaringan kerja dan organisasi mengakibatkan partai politik baru tersebut gagal menampung dan menangkap aspirasi masyarakat yang menginginkan perbedaan diantara partai politik lama yang telah ada. Keberadaan partai politik baru cenderung mengalami kegagalan karena tidak berani menjadikan organisasinya terbuka secara transparan dan akuntabel dalam keuangan partai politiknya ketika dikaitkan terhadap penilaian masyarakat. Kegagalan partai politik baru dalam menciptakan organisasinya terbuka, transparan, dan akuntabel dalam pengelolaan keuangan partai politiknya karena biaya organisasi yang dibutuhkan baik dalam pembiayaan internal maupun eksternal seperti kampanye politik dan kampanye pemilu sangat besar dan tidak seimbang dengan biaya yang dihimpun secara organisasi dari dana kader atau anggota semata.
Selain itu, pengelolaan partai politik yang dihinggapi kepemimpinan didalam organisasi
yang masih oligarkis, menjadikan partai politik baru yang mengikuti kontestasi pemilu 2019 tidak mampu keluar dari bayang-bayang transparansi siapa saja yang ikut serta dalam proses menyumbang (investor: baik perseorangan maupun perusahaan) ke dalam dana partai politik yang sebagian besar memiliki kecenderungan mengutamakan kepentingan penyumbang/investor dan melupakan kepentingan rakyat.
Proses yang terjadi tersebut karena Partai politik baru masih diuntungkan dengan
regulasi pengelolaan pendanaan partai politik yang masih membuka peluang minimnya
transparansi dan akuntabilitas di dalamnya. Regulasi yang ada belum mampu mendorong partai politik bersikap trasnparan dan akuntabel dalam mengelola keuangan partai politiknya. Pada titik ini, dengan tidak lolosnya partai politik baru ke parlemen memberikan gambaran bahwa pola identitas kepartaian mereka dengan pengelolaan pendanaan keuangan partai politik masih cenderung lemah dan tertutup, dimana transparansi dan akuntabilitas keuangan belum menjadi salah satu andalan dalam menjadikan pengelolaan keuangan yang professional dan lebih jauh menjadikan kekuatan dalam meraih segmentasi, positioning dan pangsa electoral di tengah keberadaan partai politik lama yang memainkan mekanisme yang sama.
Dapat ditarik kesimpulan, bahwa salah satu faktor kegagalan partai politik baru dalam
kontestasi pemilu legislatif 2019 adalah masih “kabur” dan tertutup masalah transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan serta pendanaan partai politik. Partai politik baru pada pemilu 2019 tidak mampu keluar dari bayang-bayang transparansi dan akuntabilitas keuangan dalam pendanaan partai yang pada hakikatnya membutuhkan biaya yang besar dari berbagai penyumbang. Persoalan ini menjadikan identitas partai politik mereka terkesan sama dengan partai politik lama. Dari fenomena tersebut, jika partai politik tidak berbenah bisa dipastikan identitas partai politik di Indonesia akan bergerak ke arah yang semakin lemah, representasi demokrasi semakin menjauh serta masyarakat akan semakin tidak percaya dengan partai politik.
Referensi
Buehler, M. (2009). The Rising Importance of Personal Networks In Indonesian Local Politics: An Analysis of District Government Head Elections in South Sulawesi in 2005. dalam M. Erb & P. Sulistiyanto (eds) Deepening Democracy in Indonesia? Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). Singapura: ISEAS Publishing.
Elin, Falquera, Jones, dan Ohman. (2016). Pendanaan Partai Politik dan Kampanye Pemilu : Buku Pedoman Keuangan Politik. International IDEA. Swedia.
Haryanto. (2014). Kebangkitan Party ID: Analisis Perilaku Memilih dalam Politik Lokal di Indonesia. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 17, Nomor 3, Maret 2014 (295-314). UGM. Jogjakarta.
Huntington, Samuel P. (2003). Tertib Politik. terj. Sahat Simamora dan Suryatim, Jakarta Perludem. (2011). Membangun Demokrasi dengan Menegakkan Keadilan Pemilu. Perludem. Jakarta.
Surbakti, Ramlan. (2015). Peta Permasalahan dalam Keuangan Politik Indonesia. Kemitraan. Jakarta.
(Red)