
JAKARTA, MediaGaruda.Co.Id – Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Restorasi Pedagang dan UMKM (GARPU) mengapresiasi upaya Pemerintah Indonesia yang sedang menyiapkan program distribusi Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng. Bantuan yang akan diberikan kepada 20,56 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) imbas langka dan mahalnya minyak goreng dalam minggu ini dinilai akan cukup membantu masyarakat. Akan tetapi, persoalan masih mahalnya minyak goreng harusnya sudah dicari jalan keluar agar harganya kembali normal..
“Terlepas dari pro dan kontra soal efektifitas BLT minyak goreng, yang pasti bantuan itu kami nilai akan membantu masyarakat. Namun ini kan sifatnya jangka pendek untuk mendukung sub-elemen masyarakat yang terimbas langka dan mahalnya minyak goreng. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan harus mampu segera mengontrol harganya di pasaran. Jangan sampai pasca Idul Fitri, harganya masih mahal,”pungkas Ketua Umum DPP GARPU, Jufry Reigen Lumintang dalam siaran persnya di Kemayoran, Jakarta, Minggu 10 April 2022.
Sebagaimana informasi di lapangan yang diinput oleh Bidang Penelitian dan Pengembangan DPP GARPU, Jufri melanjutkan saat ini kondisi distribusi minyak goreng di pasaran jauh dari kata normal. Memang pasca pemerintah mencabut kebijakan minyak goreng dengan Harga Eceran Tertinggi (HET), stok minyak goreng kemasan menjadi melimpah dan tersedia dalam jumlah yang sangat banyak di berbagai swalayan dan pusat perbelanjaan.
Sayangnya dengan melimpahnya stok minyak goreng kemasan, harga yang dijual belum kunjung turun. Hingga 8 April 2022 kemarin sebagaimana data yang dihimpun Tim Litbang DPP GARPU, rata-rata minyak goreng kemasan 2 L dijual masih dijual seharga Rp45-55 ribu.
Lain minyak goreng kemasan, lain pula masalah minyak goreng curah. Selain harganya yang sudah naik dan dijual antara Rp 19-20 ribu per liter, ketersediaannya di berbagai pasar tradisional sangat terbatas dan tergolong langka. Beberapa pedagang yang dimintai catatan oleh Tim Litbang DPP GARPU masih terus mengeluh soal distribusi minyak curah yang dibatasi.
“Itu keluhan pedagang di banyak pasar tradisional yang dicatat oleh Tim Litbang DPP GARPU. Kalau mereka order 70-100 jerigen, adanya Cuma 20-30 jerigen, 2 sampai 4 hari stoknya habis,”demikian penjelasan Jufry.
Akan hal itu, Jufry mendesak Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Perdagangan untuk segera mencari jalan keluar yang konprehensif. Persoalan minyak goreng yang merupakan salah satu komponen kebutuhan utama masyarakat harusnya dijamin ketersediaannya dan tentunya perlu dipastikan harganya yang ideal.
Dalam kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal DPP GARPU, Husendro,SH.MH turut menambahkan, Pemerintah Indonesia harusnya tidak berlama-lama mengulur waktu untuk mengambil alih kontrol harga dan ketersediaan minyak goreng. Presiden Jokowi seru Husendro perlu mengevaluasi seluruh kebijakan yang telah diambil oleh Kemendag sebagai leading sector yang mengurusi persoalan minyak goreng mulai dari hulu hingga ke hilir.
Husendro turut menyoroti, harusnya pemberlakuan kewajiban pemenuhan dalam negeri (DMO) dan penetapan kewajiban harga dalam negeri (DPO) bisa menjadi solusi untuk mengatasi kelangkaan dan mahalnya minyak goreng. Pada prakteknya dia melihat, kebijakan tersebut tidak disambut baik oleh pengusaha sawit mengingat potensi profit yang diterima bakal lebih kecil karena perbedaan harga CPO global dan domestik cukup signifikan.
“Harga jual global saat ini antara Rp 16-18 ribuan per kilogram. Dengan kewajiban DMO dan penetapan DPO, harga jual domestik sekitar Rp 9 ribuan per kilogram. Asumsi saya, para pengusaha sawit tidak mau rugi donk. Ya, pasti stok bahan bakunya masih terbatas dan berimbas pada masih langka dan mahalnya minyak goreng dalam negeri,”jelas Husendro panjang lebar.
Mau tak mau, Pemerintah Indonesia memang dituntut lebih radikal dalam menyiapkan strategi penurunan harga minyak goreng. Dalam kacamata Husendro, saat ini solusi jangka panjang penurunan harga minyak goreng hanya ada satu.
“Ya solusinya pemerintah harus tegas dengan pengusaha kelapa sawit. Para pelaku bisnis sawit di Indonesia harus dievaluasi dan diaudit perusahaannya. Jangan ada yang bermain-main dengan kebutuhan pokok warga. Karena ini jelas menggangu stabilitas negara. Jadi harus tegas,”tutup Husendro.
(Red)